Kali ini saya mau berbicara mengenai proses. Proses adalah suatu fase untuk mencapai hasil. Pada tahap proses inilah, suatu benda mengalami banyak perlakuan yang bisa saja baik atau buruk. Secara langsung atau tidak, hal ini akan berpengaruh kepada hasilnya kelak.
Proses ada yang instan seperti pelepasan elektron valensi. Ada juga yang berlangsung ribuan tahun seperti peluruhan inti karbon.
Saya menekankan kata instan dan ribuan tahun. Ya, kali ini saya ingin berbicara mengenai waktu.
Pernah liat ga ada orang yang tiba-tiba jago main bola basket. Dari 5 percobaan 3-poin bisa masuk semua tanpa cacat. Atau pernah liat ga ada orang yang belum pernah main piano, tiba-tiba bisa bermain simfoni chopin tanpa cela.
Jika ada yang seperti itu, kamu pasti sedang ada dalam mimpi. Hehe becanda.
Saat saya tingkat 1, bisa dibilang saya sangat kelebihan hormon. Saya rasa bisa menaklukan apapun. Akhirnya muncul rasa angkuh dalam diri. Padahal kalo dipikir-pikir, betapa hijaunya saya.
Kala itu saya berpikir bahwa orang yang jarang masuk kelas, tidak pernah mengulang pelajaran dosen di kosan/rumah, namun ketika ujian bisa dapet A adalah keren.
Selama empat tahun saya seperti itu. Pada permulaannya sih bagus. Saya jadi makin sombong. Tapi pada pertengahan saya jadi belepotan sendiri.
Pelajaran di kuliah telah disusun secara sistematis. Dimana untuk menguasai kredit yang lebih tinggi, tentunya diperlukan mata kuliah prasyarat. Jika mata kuliah kredit itu ada di semester 4, maka mata kuliah prasyaratnya ada di semester sebelumnya.
Balik lagi ke kebiasaan -yang saya anggap keren itu-, biasanya saya hanya belajar sebelum ujian. Jika ujian jam 8 pagi, maka saya belajar sekitar 1-2 jam sebelumnya. Ya. Saya belajar jam 5-7, terus berangkat ke kampus. Kebiasaan yang saya buat itu dalam beberapa kasus menjadikan nilai saya bagus, namun karena sepanjang semster tidak pernah belajar serius, saya seolah tidak ada apa-apa yang tersisa. Belajar sebelum ujian hanya bertahan sebentar. Mengapa? Karena tidak melalui proses yang kuat. Alias instan.
Saya sadar harusnya saya memiliki dasar yang kuat. Saya harus berubah. Namun apa yang sering saya lakukan kini telah menjadi kebiasaan. Ditambah rasa angkuh yang tinggi menjadikan saya sulit untuk berubah.
Saya sadar namun terlalu berat untuk berubah. Salahnya lagi saya tidak cerita ke orang lain. Tidak ada yang menegur atau sekadar mengingatkan saya.
Saya pasrah ama keadaan.
Akhirnya bisa juga saya wisuda. Saya heran kok bisa saya wisuda karena saya sadar proses yang saya hadapi sepertinya belum begitu bagus. Buktinya adalah masih ada kebiasaan itu dan keangkuhan dalam diri.
Ternyata buahnya baru saya petik saat ini.
Memilih berkerja di bidang engineering, saya dituntut untuk tahu segalanya. Segalanya. Bukan cuma elektro aja.
Kalo bisa saya simpulkan: kemauan belajar saya adalah nol. Tapi ketika uda kepepet, mungkin kemauan itu bisa naik signifikan. Tapi masalahnya adalah ini bukan dunia kuliahan lagi. Kamu punya atasan yang mungkin gak sefleksibel dosen waktu kuliah.
Mampus deh gw.
Kini, mau gak mau, saya harus berubah. Berubah total. Awalnya saya gak tahu harus mulai dari mana.
Cogito ergo sum. Aku berpikir maka aku ada, itu kata Rene Descartes.
Saya berpikir, mungkin saya bisa menemukan jawabannya dari buku2.
Sedikit-sedikit saya baca buku tentang motivasi, tentang kehidupan dan juga rohani.
Dari situ saya gak dapet apa2. Memang odong kali kali otak saya ini. Hehe. Tapi saya menarik kesimpulan bahwa, perubahan itu dimulai dari hal-hal kecil. Bangun kepercayaan diri bahwa saya bisa berubah. Minta pertolongan orang lain untuk mengingatkan adalah ide yang tidak buruk.
Ternyata hasilnya positif, sedikit-sedikit rasa ingin tahu saya tumbuh karena saya meruntuhkan tembok keangkuhan saya. Tembok keangkuhan runtuh karena saya berkomitmen untuk rendah hati. Sejujurnya perubahan yang paling signifikan terjadi karena hati dan perasaan saya yang remuk karena digerogoti kanker jiwa, telah Tuhan Yesus sembuhkan melalui bimbingannya yang ajaib.
Gimana caranya dengerin bimbingan Tuhan? Ya buka hati. Kalo keangkuhan masih ada, bakal sulit suara Tuhan untuk didengar.
Kalo dipikir-pikir, saya udah ngelakuin dosa besar, yaitu mengandalkan diri sendiri, sehingga jelas suara pribadi lebih didengad daripada suara yang lain, termasuk suara Sang Pencipta.
Semua hal itu menyadarkan saya bahwa saya ternyata masih cupski. Kini, saya menyadari kehampaan saya, kebukansiapasiapaan saya. Meskipun begitu saya melihat ada sebuah harapan yang Tuhan sediakan. Saya tahu harapan itu tidak akan gagal, asalkan saya melihat harapan itu bukan dari kacamata keinginan saya. Harapan itu adalah mengenai kehidupan baru. :)
Setelah saya mengevaluasi diri, saya menyimpulkan bahwa kesalahan saya bertahun-tahun ada di keangkuhan. Ia bisa timbul sangat tinggi dalam diri saya ataupun bisa sembunyi kemudian muncul lagi. Itulah mengapa saya selalu gagal berubah karena kesombongan itu tidak sepenuhnya hilang.
Menghilangkan kesombongan sampai ke akarnya itu tidak mudah. Harus menganggap orang lain lebih hebat mungkin agak konyol bagi saya, tapi itu yang harus saya lakukan. Jika itu belum hilang, begitu juga kesombongan dalam hati saya.
Kini semua butuh waktu, semua ini sedang dalam proses. Saya sadar semua yang instan itu ga baik. Lebih baik saya menunggu perlahan. Jika ada percepatan proses, itu bagus, asal bukan pengkarbitan.
Percepatan : berjalan lebih cepat karena setiap elemen berjalan lebih cepat.
Pengkarbitan : berjalan lebih cepat karena ada elemen yang ditinggalkan. Maka dari itu prosesnya tidak sempurna.
Intinya, saya perlu berubah. Saya mau belajar lagi. Saya mengakui orang lain. Saya mau menjadi lebih baik lagi.
Saya harus menghadapi PROSES.
Sejak saat ini hidup saya telah berubah.
No comments:
Post a Comment